Sebelum sobat membaca tulisan ini saya mengingatkan, kita mesti singkirkan dulu perasaan sentimen atas Malaysia bila ada. Hal ini saya ingatkan karena biasanya kita keburu "panas" bila mendengar negara jiran itu disebut. Mendengar kata Malaysia memang biasanya kita ambigu. Kita merasa dekat karena katanya kita serumpun walau sebagian besar orang Indonesia bukanlah beretnis Melayu. Kita merasa "minder" dengan mereka padahal budaya kita jauh lebih beragam. Kita mungkin minder juga karena mereka telah menjadi negara kaya, tetapi kita sebaiknya tidak berkecil hati karena setidaknya kita lebih demokratis.
Saya pernah mengobrol santai dan hangat dengan pengemudi taksi ketika berada di Jakarta. Dia mengeluhkan anak-anaknya yang tergila-gila dengan seriap Upin dan Ipin. Awalnya saya hanya mendengarkan tetapi kemudian mulai bersepakat dengan pendapat-pendapatnya. Hal yang mirip dengan opini saya adalah, terlepas dari Malaysia sebagai pemerintahan yang terkadang bertindak berlebihan pada Indonesia, sesungguhnya bila mau jujur kita dekat dengan budaya mereka. Begitu juga mereka.
Mengamati Upin dan Ipin, saya jadi teringat dengan masa kecil saya di Brebes, Jawa Tengah. Kehidupan kampung di mata anak-anak yang dinamis. Juga dengan kebersamaan hidup dengan budaya lain. Bila di Upin dan Ipin interaksi yang muncul adalah dengan etnis dari India dan Tionghoa, pada masa kecil saya dulu interaksi tersebut dengan seluruh etnis di Indonesia, juga Tionghoa dan Arab. Intinya, keadaan multikultur sudah galib sejak lama di Indonesia dan Malaysia, dan mungkin juga di seluruh masyarakat lain. Perbedaannya, di Indonesia kini tidak lagi seringkali muncul problematika hidup bersama dengan beragam latar belakang budaya di dalam pesan media.
Konten media lain dari Malaysia yang juga dekat dengan kita, terutama awal dekade awal 1990-an, adalah musik populernya. Jauh sebelum penyanyi & band-band "metal" dan pop asli Indonesia (Sheila On 7, Dewa, Boomerang, Five Minutes dll) merajai musik di wilayahnya sendiri, penyanyi dan band Malaysia tersebut sudah populer di Indonesia. Ini adalah kenyataan yang tidak dapat kita abaikan. Saya ingat persis bagaimana dulu lagu "Isabella" yang dinyanyikan oleh Search begitu populer di awal 90an, ada juga lagu-lagu duet Amy Search & Inka Christie yang berjudul "Jangan Pisahkan" & "Cinta Kita". Hampir semua orang menyanyikannya dan lagu tersebut terdengar di mana-mana, terutama di radio gelombang AM & FM. Di tahun 1996-1998 ketika saya SD kelas 4 ada beberapa lagu yang populer antara lain Fenomena dengan lagunya Tiada Yang Lain", Nash dengan "Kulihat Syurga di Wajahmu", Ekamatra dengan hits andalannya "Hanya Satu Persinggahan" dan lain sebagainya.
Tiada yang mengganggu
Bulan madu diatas pelangi
..........................................
..........................................
..........................................
Andai dipisah api dan bara
Tak akan goyah gelora cinta".
Juga dengan dua lagu lain, yaitu "Gerimis Mengundang" oleh Slam dan "Suci dalam Debu" yang dinyanyikan oleh Iklim, yang begitu populer di tahun-tahun itu, awal 1990-an. Terus terang saya ingat ketiga lagu itu memang menciptakan atmosfer tersendiri, mengingatkan saya pada hidup masa kecil yang multikultur. Atmosfer unik yang diciptakan oleh musik Malaysia sebelum imaji interaksi yang belakangan ini. Imaji interaksi yang konfliktual dan jauh dari wajah bersahabat. Lagu-lagu yang lain, selain tiga lagu paling terkenal di atas, tidak begitu saya kenal. Walau begitu, lagu-lagu itu mudah kita ingat sebagai lagu Malaysia karena judulnya yang "unik". Di penghujung tahun 90an, tepatnya tahun 1999/2000 saya memasuki bangku SMP, saat itupun musik-musik slowrock Indonesia-Malaysia masih sering muncul di TV, misalnya Inka Christie dengan lagu "Teratai", Screen dengan lagu andalannya berjudul "Bila Cinta Di Dusta", Darmansyah dengan cengkok melayu Deli yang kental berjudul "Hanya Satu", UKS dengan "Ikhlasmu Berbagi Kasih", Nafa Urbach dengan "Hati Yang Kecewa", Sultan "Terpaksa Aku Lakukan", Slam dengan lagunya "Rindiani", Exist dengan "Dirantai Digelangi Rindu", Sonia dengan lagu "Kau Sebut Namaku". dan masih banyak yang lainnya.
Lagu-lagu Malaysia ini ternyata juga masih dikenali oleh rekan-rekan saya yang jauh lebih muda di kantor. Sepertinya mereka juga suka, karena selain kenal, mereka pun sedikit banyak hafal lirik lagunya. Artinya, sekali pun mungkin tidak suka, lagu ini paling tidak pernah menerpa mereka. Terkadang permasalahan dalam mengakses media dan mengomentarinya memang melampaui suka dan tidak suka. Sesuatu yang tidak muncul ketika kita melihat pemberitaan mengenai "tari Pendet", konflik Ambalat, dan Manohara. Sesuatu itu bernama kedekatan yang sejak lama ada tetapi tidak kita sadari sepenuhnya. Sesuatu yang sudah dekat dari "sononya" secara kultural.
gan, ada satu lagu di 'zaman itu' yang masih terngiang di otakku..aku gak hapal liriknya, gak inget juga ma judul n grup penyanyinya..lagunya ttg perpisahan gitu kayaknya, seorang laki2 yg mengikhlaskn wanitanya bersama laki2 lain..
BalasHapusyg aku inget videonya itu personilnya pakai baju putih semua, rambutnya gondrong2, ada scene di sungai...hehe,klo tau mohon kabari ya via imel..makasi :)