Jumat, 16 September 2011

Janin

Oleh : Mashdar Zainal
Mula-mula, pada malam tamansari, aku meluncur dari sulbi seorang Adam. Menyembur seperti kembang api yang memercikan berjuta-juta sel bakal kehidupan. Lantas bagai seekor kecebong aku menelusuri lorong rahim yang pekat. Aku melesat mendahului jutaan sel bakal nyawa untuk dapat memeluk sebuah ovum matang seorang hawa, yang kelak hendak menyimpan surgaku di telapak kakinya.

***

Kini, aku telah mejadi janin yang menyatu dengan ibuku, mengikuti gerak dinamisnya yang lembut. Barangkali aku seperti parasit yang menghisap seluruh intisari hidup yang masuk ke dalam tubuh ibuku. Mulai dari sesuatu yang manis yang menimangku dalam pusaran hangat yang nyaman, sampai gelegak cadas tajam yang membuat dada ibuku sesak dan berdarah. Acapkali aku terendam dalam tungku tuba yang mendidih, ketika ibuku menangis tak henti-henti.

“Menurutmu, apakah kita benar-benar lahir dari dua jiwa yang saling mencintai?” tanyaku suatu kali pada bakal kembaranku.

“Kalau mereka tak saling mencintai, bagaimana mungkin kita ada.”

“Mungkin saja. Keberadaan kita hanya soal fisik. Penyatuan tubuh dengan tubuh. Bukan pertalian hati dengan hati.”

“Apa kau tahu, mengapa lelaki itu tidak segera menceraikan ibu?”

“Tentu saja; kita. Lelaki itu akan menunggu sampai kita lahir. Setelah kita lahir, lelaki itu akan merebut kita dari tangan ibu. Setelah itu barulah dia akan menceraikan ibu.”

“Mengapa begitu?”

“Apa kau tidak merasakan, guncangan-guncangan kecemasan yang kerap menghimpit dada ibu?”

“Ya. Ibu tahu, lelaki itu sama sekali tidak mencintainya. Tapi anehnya, pada lelaki itu, mengapa ibu terus mengendus seperti anjing yang minta dikasihani oleh tuannya?”

“Barangkali ibu kita memang bodoh. Mencintai lelaki yang sama sekali tidak mencintanya.”

“Untunglah, di sini, kita berdua. Tak bisa kubayangkan, aku terpanggang dalam rahim panas ini, dan hanya sendiri. Bisa-bisa aku meleleh seperti santan kental yang bergejolak karena api.”

“Sudahlah, bagaimanapun kita punya hak untuk melihat dunia, kelak. Kita harus bertahan.”

“Bagaimana kalau alam mayapada di luar sana, ternyata lebih menyeramkan dari pada tungku tuba ini? Apa tak pernah menyembul ke benakmu? Barangkali, kembali ke langit lebih baik.”

“Kau tahu? Ada kekuatan besar yang mendampingi kita. Kita tak perlu khawatir.”

***

Berbilang waktu panjangku sudah sekitar 16 cm dan bobotku sekitar 35 gram. Dengan bantuan scan, ibu dapat melihat kepala dan tubuhku yang bergerak-gerak. Ibuku senang sekali saat merasakan gerakanku yang pertama. Gerakanku bisa dengan mudah dideteksi dengan USG.

“Mas, aku sudah bisa merasakan, si kecil sudah mulai menggeliat, peganglah di sini.” Pinta ibuku pada lelaki itu. Lelaki itupun meletakkan telapak tangannya yang berotot pada bagian perut ibuku.

“Ya, aku juga bisa merasaknnya.” Ucap lelaki itu datar. Baru kali ini aku merasakan sentuhan tangan lelaki itu. “Semoga kau melahirkan anak lelaki yang sehat.” Lanjutnya. 

Aku selalu merasa lebih nyaman, jika lelaki itu ada di dekat ibu. Sebagaimana ibu merasakan kenyamanan itu. Namun itu tak pernah berlangsung lama. Sepertinya lelaki itu hanya peduli padaku, dan bukan pada ibu. Selalu, setelah melihat kondisi kandungan ibu normal, lelaki itu segera beringsut. Lewat perasan ibu aku bisa tahu, kemana lelaki itu pergi. Lelaki itu pasti pergi untuk menemui perempuan itu. Perempuan yang mungkin akan menggantikan posisi ibuku, setelah aku lahir. Perempuan yang telah mempunyai tempat di hati lelaki itu.

“Kau mau ke mana lagi, Mas?” tanya ibu, bergetar.

“Ada urusan penting di kantor. Aku tak bisa berlama-lama.”

“Urusan penting apa lagi, Mas? Selalu urusan penting. Lalu kapan Mas punya waktu buat saya?”

“Kau tak perlu merajuk seperti itu. Kehamilan tak harus membuatmu menjadi manja. Seperti anak kecil saja.”

Dan, kurasakan dada ibuku mulai sesak. Seperti ada gejolak yang hendak ia teriakkan keras-keras ke telinga lelaki itu.

“Saya tahu. Mas mau menemui perempuan itu lagi. Mengaku saja!” suara ibu parau tertelan isakkan kecil.

“Kau mulai lagi. Selalu kau yang memulai. Apa kau tak bisa untuk tidak bersikap memuakkan di depanku. Kau selalu curiga dan curiga.”

“Hh... apa karena saya hamil, lantas Mas kira saya tidak bisa mengawasi apa saja yang Mas lakukan di luar sana? Saya sudah tahu semuannya. Setelah bayi kita ini lahir, Mas akan menceraikan saya, kemudian Mas akan menikahi perempuan sundal itu. Iya, kan?” balas ibuku semakin sengit, suarannya kembali bergetar, beriringan dengan cairan hangat yang meleleh dari sudut matanya.

“Oooh..... jadi selama ini kamu memata-mataiku.” Lelaki itu kembali mendekati ibu, lalu mencengkram lehernya. “Ya.... bagus sekali, kamu sudah seperti anjing pelacak. Lalu kalau aku mau menceraikanmu dan menikah dengan perempuan lain, kamu mau apa?” bentak lelaki itu.

“Bapak dan Ibu takkan pernah mengizinkan Mas menceraikan saya.” Ucap ibuku, tersedak-sedak. Wajahnya hampir basah oleh air mata.

“Oh ya, siapa bilang? Sekarang aku sudah tak peduli lagi. Tak seorangpun bisa menghalangiku, termasuk orang tuaku sendiri. Sudah hampir dua tahun aku menahan geram, mempertahankan rumah tangga yang lahir lantaran perjodohan bodoh itu. Sudah hampir dua tahun pula aku belajar menyukaimu. Tapi tak pernah bisa. Kau tahu kenapa? Karena kau memang sangat memuakkan. Sekarang, apalagi yang ingin kau dengar dariku? Apa semuanya sudah jelas? Kalau semuannya sudah jelas, kau tak perlu susah-susah memataiku lagi, bukan?”

Lelaki itu melepaskan cengkraman tangannya dengan kasar dari tengkuk ibuku. Sepertinya lelaki itu sangat marah karena tahu bahwa ibu selalu mengawasinya. Setelah ibu terjerembab ke tilam tebal. Lelaki itu beringsut dari kamar dengan menggebrak pintu.

Untuk selanjutnya aku gelagagapan, merasakan sedu sedan yang disimpan ibuku bersama kesunyian kamarnya. Badan ibuku bergetar oleh sesenggukan yang tak berkesudahan. Inilah puncak magma yang mengguyurku dalam rekah kerak bumi yang sempit. Setiap denyar darah ibuku seolah mengalirkan perih berkepanjangan. Akupun merasakannya. Aku ikut menangis dan meronta. Tentu ibuku juga merasakan sakit bukan main di perutnya

Hari-hari semenjak kejadian itu, ibuku lebih suka mengurung diri dalam kamar. Pekerjaannya hanya tercenung lama dan terisak lagi. Bisa kurasakan betapa rasa cinta ibuku terhadap lelaki itu tak mengenal batas. Bisa kurasakan, ibu begitu merindukan dekapan hangat lelaki itu. Demi disadarinya, lelaki yang ia cintai telah melabuhkan kehangatannya pada perempuan lain, ia kembali mengolah sedu sedan. Ia kembali mengalirkan magma itu ke degup kecil jantungku.

Sudah beberapa hari, ibu sengaja membiarkan dirinya kelaparan. Apa ibu tahu? Dengan menyiksa dirinya seperti itu, ia telah menyiksaku. Bahkan beberapa kali ia mulai nekat memukulku, memukul perutnya sendiri. Entah, apa maksudnya. Yang jelas, gelegak tuba panas itu tak pernah reda. Aku terkungkung dalam sesak dan bara yang tak berkesudahan.

Lelaki itu pun datang sesekali waktu, untuk menanyakan keadaanku.

“Bagaimana keadaan bayimu? Baik-baik saja?”

Ibuku tak menyahut. Ia tampak pucat dan kusam seperti patung di tengah pancuran, patung yang lekang dan berlumut oleh panas dan hujan.

“Soal kemarin, aku minta maaf.” Enteng sekali lelaki itu mengumbar kata maaf.

Ibuku masih mematung. Dadanya kembali berdecak-decak. Lelaki itu minta maaf? Apa maksudnya? Apa semua racun yang menyembur dari mulutnya lampau hari hanya kekhilafan lantaran emosi semata? Ibuku bertanya-tanya.

“Aku tak ingin terjadi apa-apa pada bayi kita? Kau tak harus menyiksa dirimu seperti itu. Isilah perutmu barang sesuap. Minumlah vitamin dan obat imun itu dengan teratur. Sekarang kau sedang hamil tua. Tak lama lagi kau akan jadi ibu. Jangan bersikap bodoh seperti itu. Apa kau tahu? Dengan begitu kau telah menyiksa bayimu sendiri. Apa kau sampai hati, kalau terjadi apa-apa dengan bayi kita?” lelaki itu terus berpetuah.

“Apa pedulimu?” ibu bersungut.

Kemudian lelaki itu mendekati ibu dan membelai perutnya dengan lembut. “Kau harus percaya, perempuan itu cuma rekan kerja, bukan siapa-siapa.”

Ibuku menghela nafas. Ia ingin sekali lelaki itu meyakinkannya, bahwa semua yang dikatakannya lampau hari hanya emosi semata. Tapi benarkah? Rasanya kata-kata itu mengalir begitu saja. Seperti bisa murni yang menggelegak dari empedu kedalaman hati. Ah, sudahlah. Ia benar-benar lelah untuk terus perang mulut dengan lelaki yang sebetulnya sangat ia sayangi itu. Lelaki itu ada di dekatnya, itu saja sudah cukup. Tapi, seperti sebelumnya, lelaki itu tak pernah betah berlama-lama dengan ibu. Ketika lelaki itu mulai berdiri dan merapikan jasnya. Ibu mulai tak tenang.

“Kau mau kemana lagi, Mas?” introgasinya.

“Pasti, kau pikir aku mau berkencan lagi dengan asistenku. Sudahlah, curigamu itu terlalu berlebihan. Hari ini ada pertemuan penting di kantor.”

“Tapi ini kan hari libur!”

“Iya, tapi jam kantor masuk. Khusus hari ini. Sudah kubilang, ada rapat penting. Kalau kau masih tidak percaya, ikutlah kau ke kantorku.”

Ibu terdiam. Ia berharap lelaki itu mendekatinya lalu mengucup keningnya sebelum pamit. Tapi lelaki itu pergi begitu saja, setelah membenarkan letak lehernya. Kali ini ibu benar-benar bertekad membuntutinya senidiri. Kalau sebelumnya ibu hanya membayar orang kantor untuk mengawasi suaminya selama di kantor. Kini ia benar-benar ingin tahu sendiri, apa saja yang sebenarnya dilakukan suaminya di luar kantor.

Berselang lelaki itu berangkat, ibu menyewa taksi untuk mengikuti ke mana mobil lelaki itu melaju. Dada ibu mulai di berondong kecemasan ketika mobil lelaki itu melesat melewati kantor tempat seharusnya yang ia tuju. Satu hal, lelaki itu sudah berbohong. Tidak dapat di percaya. Di sini, mata ibu berkaca retak lagi.

“Terus saja ikuti mobil itu diam-diam, Pak!” pinta ibu pada si pengemudi.

Mobil itu terus melaju, ibu terus membuntutinya. Bermil-mil jauhnya dari pusat kota. Ibu bertanya-tanya, kemana sebenarnya suaminya akan pergi. Detak jantung ibu terus melaju, semakin kencang. Perasaannya jauh dari rasa tenang. Mobil lelaki itu mulai melamban memasuki sebuah perumahan elit di pinggiran kota. Mobil lelaki itu berhenti di depan sebuah rumah petak kecil yang elegan. Seperti ada segumpal batu besar dan tajam menyumpal dada ibu. Dari kejauhan ibu melihat lelaki itu keluar dari mobilnya. Seorang perempuan muda dan anak kecil berlari menyambutnya, girang.

Dari kejauhan ibu masih bisa mendengar jelas, anak kecil itu berteriak memanggil lelaki itu, “Papaaaaa!”

Ibu benar-benar tak bisa menahan dirinya. Rasanya ia ingin mati saja. Kurasakan pula desakan hebat itu seperti menindih, meremuk tubuhku yang kecil. Lihatlah! Selangkangan ibu berdarah. Dengan air mata beruarai ibu meminta si pengemudi untuk mengantarnya pulang. Sampai di rumah ibu berjalan limbung memasuki kamarnya. Ia tak mempedulikan lelehan darah di sepanjang kakinya. Di atas dipan, ibu menangis habis-habisan. Tangis itu meresap melalui darah dan degup jantung, lalu menjelma ribuan jarum api yang menusukku bertalu-talu. Aku lemah. Sangat lemah. Aku kesakitan. Benar-benar kesakitan.

Menjelang petang, saat tangis ibu mereda. Tiba-tiba ibu menyeret meja tinggi dan kursi rias ke tengah ruang. Dinaikkannya kursi itu ke atas meja. Lantas ia memelintir seutas selendang hingga menyerupai tali. Dengan nekat ia menaiki meja dan kursi itu. Pada kipas angin besar yang tergantung di langit-langit ia mengaitkan tali itu. Erat-erat. Tanpa mempedulikanku, ia mengaitkan lehernya pula pada tali yang menganga itu. Beberapa detik kemudian....

“Brakk...” ibu menendang kursi tinggi itu. Ia meronta sendiri. Kakinya menggelinjang di udara. Tanpa pijakan kesadaran yang utuh. Lehernya tercekik oleh iman yang setipis ari. Napasnya mulai sesak. Lehernya sakit sekali. Ia meregang. Benarkah ini tak lebih sakit daripada melihat lelaki yang dicintainya berpadu kehangatan dengan perempuan lain? Ini benar-benar lebih miris.

Tak berselang lama dari suara gebrak kursi jatuh itu, kudengar pintu kamar digedor-gedor dari luar.

“Iiin...! Buka pintunya In! Iin!” suara lelaki itu.

Tak mungkin ibuku menjawab. Ia sudah seperti capung yang terperangkap jaring laba-laba. Aku tersentak. Sama sekali tak kudengar lagi detak jantungnya. Akupun mulai merasakan sesak. Jatah napasku terasa lepas di pergelangan ari-ari. Lamat-lamat kudengar pintu didobrak. Lelaki itu tercengang melihat ibu yang melayang mengenaskan. Ia berteriak, meraih ibu, menurunkanya, dan segera melarikannya ke rumah sakit.

“Bayinya masih bernapas, Pak? Kita butuh tindakan cepat.” Kata seorang dokter.

Beberapa saat kemudian, seperti ada sebuah benda dingin yang menyentuh rahim ibuku. Aku terguncang-guncang hebat. Tuba, darah, barangkali air mata. Semua melebur dalam blender yang dahsyat. Aku gelagapan. Napasku seperti tersumpal. Aku memejamkan mata. Menyerahkan semua pada kekuatan terbesar yang selama ini membuatku bertahan. Kurasakan placenta yang mula-mula melilitku terlepas oleh koyakkan-koyakan kasar. Tuhan! Benarkah, aku harus meninggalkan dunia sebelum aku menyambanginya?

Rahim ibuku terasa payah. Bersama darah, aku mengapung ringan seperti debu yang di sedot vacum cleaner. Sedotan itu semakin kuat, dan semakin kuat. Maka rahim itu melepasku seperti biji leci yang terlempar dari mulut basah.

“Aow.... aow....” benar-benar jelas aku mendengar gaung itu.

“Putra Anda kembar, Pak.” kata seorang dokter pada lelaki itu, kata-kata yang gagu, rekah ucap yang ragu.

Lelaki itu tercekat. Matanya terbelalak, bibirnya hanya gemetaran. Ia tak percaya melihat bayinya memiliki dua kepala, dua tubuh yang saling berhimpit, tiga tangan, dan dua kaki. Ia memejamkan mata, menutup mukanya dengan kedua telapak tangan. Barangkali ia berusaha mengingat, bagaimana cara menyebut nama Tuhan.

***

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.