Oleh : Sungging Raga
Sinyal masuk stasiun dibuka. Kereta kujalankan kembali dengan kecepatan rendah. Tampak Stasiun Lempuyangan detik demi detik semakin membesar, mendekat. Orang-orang sudah berbaris di jalur dua. Kecepatan kereta berangsur-angsur kuturunkan selepas melewati perlintasan di bawah jembatan layang yang penuh mural di setiap sisi penyangganya. Kereta mulai memasuki area stasiun, tepatnya di jalur dua.
Aku mengerem sekali lagi, perlahan-lahan, kulihat barisan penumpang yang berjejal. Seorang petugas stasiun baru saja menangkap surat perjalanan yang kuserahkan lewat jendela. Akhirnya kereta pun berhenti. Dan seperti biasanya, perempuan itu sudah ada di situ, berdiri di ujung barat stasiun, tersenyum padaku.
Lempuyangan yang murung, lempuyangan yang sedih. Mendung bergulung-gulung, cahaya matahari mengendap di langit. Sore begitu tua. Ibu-ibu penjual nasi berpakaian hijau hilir mudik di sepanjang gerbong, berteriak dengan intonasi yang khas, menjajakan nasi yang hangat dan akan selalu hangat. Suasana yang selalu hiruk-pikuk. Tetapi, setelah turun dari lokomotif, perhatianku kemudian hanya tertuju kepadanya, seorang perempuan yang kini duduk di sebelahku, di tangannya ada rantang kecil. Aku tahu, rantang itu berisi makanan: masakannya sendiri. Kami duduk dan sejenak saling menatap.
“Terlambat setengah jam, ya?” Ia bertanya.
“Iya. Kamu sudah lama?”
“Lumayanlah…. Ini, dimakan dulu.”
Aku membuka rantang bersusun itu, ada nasi dan lauk ayam, lengkap dengan sambal. Aku pun segera menyantapnya. Ia hanya mengamatiku.
Kereta yang kukemudikan masih punya waktu sekitar lima belas menit di Lempuyangan, ini dikarenakan sejak perjalanan awal tadi sudah terlambat, dampaknya adalah mengacaukan seluruh jadwal, dan karena keretaku kelas ekonomi, maka harus lebih sering mengalah.
Lima belas menit itu kumanfaatkan untuk menikmati masakan pemberiannya. Ia, seperti hari-hari dan minggu-minggu sebelumnya, tetap tak banyak bicara. Kalaupun harus bicara, mungkin ia hanya berbagi kisah-kisah pendek yang bahagia, entah fiktif entah nyata, lalu diakhiri ucapan selamat jalan ketika aku harus kembali ke atas lokomotif.
Kami duduk di tempat yang agak sepi. Sementara di bagian timur, penumpang hilir-mudik, naik-turun, mengangkat tas, berdesakan, terburu-buru. Aku masih makan. Sesaat kulihat ia tersenyum tipis kepadaku, setipis hati yang sepertinya sangat rindu.
Sudah empat tahun aku menjadi masinis, menjalankan kereta api Logawa jurusan Purwokerto-Jember, terkadang juga aku menjadi kepala perjalanan kereta Sawunggalih jurusan Kutoarjo-Pasarsenen. Tetapi tak ada yang lebih menyenangkan selain membawa kereta Logawa memasuki Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Sebab di sanalah aku selalu melihat perempuan itu selama beberapa bulan terakhir, setia menunggu kedatanganku.
Aku tidak ingat lagi bagaimana pertemuan awal kami, bagaimana kemudian ia rajin membawakanku masakan dalam rantang kecil, bagaimana kami bisa akrab tanpa saling mengenal, bagaimana ia bisa bersabar menunggu kehadiranku di sela jadwal kereta yang selalu dan akan selalu terlambat. Bahkan, hingga kini aku tak pernah tahu namanya. Aku juga tidak memperkenalkan namaku, dan aku tak bertanya apakah ia mengenal namaku.
Ya. Semua terjadi begitu saja, lebih alami dari uap air yang menjadi hujan, seakan-akan kami pernah mengenal pada suatu masa yang lampau, dan kini dipertemukan kembali. Ia menjadi sangat akrab berada di dekatku. Namun, aku tak pernah berpikir serius. Bisa saja ia tidak hanya melakukan ini padaku. Mungkin setiap ada kereta yang tiba, pasti ia juga mendatangi sang masinis dan menawari makanan. Itu dugaan awalku, tetapi, ketika iseng-iseng kutanya masinis kereta Pasundan jurusan Bandung-Surabaya, apakah dia pernah melihat seorang wanita tersenyum padanya setiap kali tiba di Stasiun Lempuyangan, dia tampak bingung, dan ketika kutanya lagi, apakah ada seorang wanita yang memberinya makanan dalam rantang kecil, dia semakin bingung.
Karena itulah, selanjutnya aku benar-benar yakin bahwa ia hanya menungguku, sebab masinis kereta Logawa selain aku pun mengaku tak pernah melihat perempuan yang memberikan makanan dan menyambut dengan senyuman.
Pada usia di atas 40 tahun, memiliki seorang istri dan sepasang anak, pertemuan dengan seorang perempuan rasanya hanya kilasan sesaat yang tak berjejak bagiku, seperti risiko yang biasa dihadapi seseorang yang lebih sering berada dalam perjalanan. Namun lama-kelamaan, kehadirannya seperti serabut yang kian lama kian menguat. Aku kian terjebak. Tiba-tiba ada aura tak terelakkan setiap kali kereta Logawa yang kukemudikan berhenti di Lempuyangan. Pada sore hari, dari arah Jember, kereta ini tiba pukul empat, sementara pagi harinya, dari Purwokerto, kereta tiba pukul sembilan. Di dua waktu tersebut, ia selalu berada di stasiun ini, menyambutku turun dari lokomotif, menjulurkan rantang kuningnya yang berisi makanan kepadaku.
Seperti sebuah seremoni sederhana, aku merasakan ketenangan tersendiri di antara kepenatan dan kebosanan menjadi kepala perjalanan ini. Entah berapa usia perempuan itu, mungkin dua puluh lima, mungkin lebih muda dari itu. Tetapi ia tampak dewasa, cara berpakaiannya, sikap hangatnya setiap kali menatap dan menyambutku, seperti telah mengerti bagaimana menghadapi seorang laki-laki. Diam-diam, kalau sedang bertugas di atas kereta Logawa, aku selalu ingin cepat bertemu dengannya, duduk berdua selama kereta berhenti. Dan setiap kali petugas stasiun sudah memberikan tanda hijau, aku selalu mengalami perpisahan layaknya yang terjadi antara penumpang kereta dan pengantarnya. Aku kembali ke atas lokomotif, melihat ia melambaikan tangan kepadaku, lalu kami perlahan menjauh, menjauh, menjauh, begitu berulang-ulang, dengan janji akan bertemu di jadwal perjalananku berikutnya.
Begitulah. Minggu melipat hari, bulan menggulung minggu. Ia masih setia, menungguku, menemaniku dalam rentang waktu yang sangat sedikit, memberikan makanan yang selalu beragam. Entahlah, aku tak bisa menafsirkan perasaan macam apa yang sedang berusaha tumbuh di antara kami. Aku menikmatinya, tiba-tiba segala di luar itu menjadi tidak penting. Rasanya keretaku ingin kuberhentikan lebih lama lagi, melawan lagu anak-anak itu.
Sampai akhirnya, pada suatu hari aku menyadari sesuatu.
Pagi itu, aku berangkat dari Purwokerto. Rindu sudah menggebu. Ketika memasuki Stasiun Lempuyangan, aku melihatnya mengenakan daster merah muda, wajahnya tetap cerah, senyumnya sangat indah, membawa rantang kecil yang segera diberikannya kepadaku. Tetapi sepertinya ada yang tak bisa disembunyikan lagi kali ini: aku melihat perutnya membesar, aku menebak, ia sedang hamil. Itu juga jelas sekali dari perubahan gerak tubuhnya. Aku pun merasa bodoh, mengapa beberapa bulan terakhir aku tak sempat memerhatikan? Meski bisa saja itu karena kemampuannya sebagai wanita untuk menyembunyikan sesuatu. Namun pagi ini aku tak lagi tertipu, ia menunduk ketika aku beberapa kali melirik ke arah perutnya. Seakan-akan sudah tahu apa yang ada di pikiranku tanpa harus mengucapkan sepatah kata pun.
Ya, ia tak perlu berkata apa-apa. Aku juga tak berhak bertanya apa-apa. Kami sama-sama tertunduk. Jadi, ia sudah punya suami, dan sebentar lagi punya anak. Begitu. Lalu untuk apa selama ini ia membawakanku makanan? Apakah ia sekadar membangun fantasi? Padahal aku sudah 40 tahun, setidaknya ia bisa menafsirkan usiaku. Aku tak mengerti, perempuan, di mana-mana, selalu membingungkan.
Sejenak hanya terdengar suara mesin lokomotif, teriakan ibu-ibu penjual nasi, dan obrolan orang-orang yang bercampur aduk. Selain itu, kesepian batin menghampar di antara kami.
Dan demi mencairkan suasana, akhirnya aku membuka suara juga.
“Sudah berapa bulan?”
Mendengar pertanyaanku yang sudah diduga-duga, ia menoleh, lalu tersenyum sambil mengelus perutnya.
“Lima bulan.”
“Ooo….”
Dan tiba-tiba saja aku langsung kehabisan kata-kata.
“Semoga kelak anakku ini bisa jadi masinis, ya?” Ucapnya kemudian. Aku tak tahu apakah ia bertanya kepadaku, sebab kepalanya lagi-lagi tertunduk, tak menatapku. Aku tak mengerti apakah itu semacam pertanyaan atau selintas harapan.
“Jadi masinis? Seperti aku?”
Ia mengangguk, masih tak menatapku.
“Jangan.” Jawabku.
“Kenapa?”
“Masinis sangat jarang tinggal di rumah. Lebih baik anakmu menjadi dokter atau guru.”
Ia terus menunduk dalam senyum heningnya. “Aku tetap lebih suka anakku menjadi masinis.”
“Kenapa?” Kali ini aku yang bertanya.
“Sebab, masinis selalu dirindukan oleh penumpang kereta meski tak ada yang mengenalnya.”
Aku tak tahu harus menjawab apa. Sebuah jeda yang gelisah, beberapa teman petugas stasiun tampak melirik kepadaku, tetapi mereka sudah tahu, selalu ada yang menungguku di sini. Pemandangan yang sungguh biasa.
Keheningan ini pun terus merebak di antara kami. Aku memikirkan kata, ia entah berpikir apa. Kami mencapai titik diam yang sempurna. Sampai beberapa menit kemudian, seseorang membuyarkannya.
“Waah, Vivin, habis diusir Tante Dini, sekarang mangkal di sini, ya?” Ucap seorang pemuda yang lewat di hadapan kami.
Ia tampak terkejut mendengarnya. Kulihat wajahnya mendadak merah, matanya mulai basah. Ia tak berkata apa-apa, namun apa yang terjadi benar-benar di luar dugaan. Ia segera bangkit, lalu berlari ke arah peron tanpa berkata apa-apa lagi padaku. Semua serba cepat. Entah mengapa aku hanya terpaku, tak memanggilnya untuk kembali. Aku seperti melamun, aku berpikir amat serius tentang kata “mangkal”, ia sudah menghilang di kerumunan, pemuda itu pun entah ke mana, lamunanku baru selesai, kepala stasiun mengumumkan keberangkatan. Rantang kecil yang ternyata masih di tanganku, kubawa ke atas lokomotif.
Mangkal? Apa dia pelacur? Gumamku. Sambil menatap rantang kuning yang ditinggalkannya.
Suasana kemudian sangat mengganjal. Pagi menjelang siang itu, tak ada lambai perpisahan seperti biasa, seakan-akan aku merasakan suatu keanehan yang dalam. Seperti ketakutan yang samar-samar.
Dan sungguh. Apa yang kutakutkan ternyata benar-benar terjadi.
Sejak kejadian itu, sampai hari ini, pada setiap kedatanganku di Lempuyangan, ia tak ada di sana. Tak pernah kulihat lagi seorang perempuan yang menungguku di Stasiun Lempuyangan setiap kali kereta Logawa yang kukemudikan tiba. Seakan-akan yang terjadi selama ini hanya ilusi yang terang dan mencengangkan. Rinduku tersesat, buntu, seperti berujung di sebuah tebing yang terjal. Ke mana perempuan itu? Ke mana dia? Mengapa aku merasa kehilangan? Mengapa ia pergi begitu saja?
Aku berharap ini memang ilusi, mungkin karena aku merindukan keluargaku. Namun aku paham, selalu ada sisa-sisa bayangan bagaimana kebersamaan itu jelas terekam, bagaimana ia tersenyum padaku, bagaimana ia menyerahkan masakan buatannya sendiri, lalu berbincang tentang segala hal yang indah, menghabiskan waktu yang singkat seperti kerinduan yang amat panjang, sampai akhirnya ia pergi begitu saja dengan menahan tangis.
Ya. setidaknya aku bisa mengerti, semua kenangan itu memang benar-benar pernah terjadi, di sini, di Stasiun Lempuyangan yang dingin ini. (*)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.